Selasa, 30 April 2013

MENGEVALUASI SISWA DENGAN BENAR MENGHINDARI ”COMPLAINT ”



Oleh  Y Kristi Hartono



Sebuah proses pembelajaran oleh guru akan diakhiri dengan suatu evaluasi atau tes untuk mengukur kemampuan siswa dalam menyerap materi pelajaran yang diterima. Hasil evaluasi akan menghasilkan nilai yang merupakan representasi  dari pencapaian prestasi siswa.
          Dalam pemberian nilai kepada siswa, apabila tidak dilakukan dengan proses yang benar dapat memunculkan masalah dan kesulitan guru ketika menghadapi komplain, baik dari siswa maupun orang tua siswa. Guru terkadang menganggap mudah dan merasa sudah hafal dengan kemampuan anak didiknya baik perkembangan berfikirnya maupun kemampuan akademisnya. Alasan bahwa guru telah mempunyai pengalaman mengajar yang cukup lama menyebabkan dalam memberikan nilai dari sebuah evaluasi tidak terprogram dengan baik. Ia hanya mengandalkan perasaan (feeling) semata. Belum lagi dengan tenggang waktu yang terbatas dan materi cukup padat menyebabkan seorang guru akan menggunakan cara yang paling mudah dan cepat namun tidak mempunyai alasan yang kuat.
Diperparah lagi dengan adanya efek ’halo’ dan’garu’. Efek ’halo’, terjadi ketika seorang guru menaikkan angka atau nilai kepada siswa yang nilainya mepet, tanpa melihat kemampuan dan hasil akademik siswa tersebut, tetapi hanya berdasarkan pertimbangan secara umum bahwa siswa tersebut berpenampilan menarik, cantik atau memberi kesan baik. Sedangkan efek ’garu’ adalah kebalikan dari efek ’halo’, yaitu seorang guru akan mengurangi atau menurunkan nilai siswa karena siswa tersebut membuat kesan tidak menyenangkan dalam pikiran guru. Misalnya siswa tersebut sering mengganggu di kelas, bicara keras, datang terlambat.  Apabila dalam kondisi ini guru menghadapi komplain dari siswa dan orang tua siswa yang kritis akan mengalami kesulitan. Akibatnya akan menghancurkan profesinya. Hal ini akan terjadi pada guru ketika melakukan evaluasi mengesampingkan komponen - komponen evaluasi.
Dalam melakukan evaluasi hendaknya guru selalu menyebutkan tiga komponen evaluasi yaitu tingkat kriteria yang tertulis, tingkat pemikiran akademik dan pernyataan tentang persyaratan. Tanpa adanya rambu-rambu tersebut guru dihadapkan pada bahaya keprofesionalannya, dan siswa akan menghadapi resiko akademik.
Kriteria penilaian yang tertulis, yaitu tingkat atau tingginya nilai akademik atau kecakapan yang dibutuhkan seorang siswa untuk menerima suatu nilai huruf. Di sini seorang guru sebelum memberikan tugas atau evaluasi harus menyampaikan dengan jelas kriteria penilaian kepada siswa. Kriteria ini dibuat oleh guru berdasarkan pada pengalaman dan harapannya.  Guru karena alasan waktu  sering tidak membuat kriteria penilaian. Dalam bentuk kisi-kisi penilaian disebut rubrik penilaian. Dengan rubrik ini maka penilaian akan selalu konsisten sehingga siswa dapat ikut terlibat dalam melihat dan menafsir kualitas pekerjaannya. Maka ketika guru memberikan nilai huruf atau angka tidak akan menimbulkan penafsiran dan kesalahpahaman antara siswa dan orang tua.

Tingkat cara berfikir akademik, yaitu pada tingkat mana yang akan di evaluasi atau diujikan. Apakah jawaban yang diharapkan dari siswa hanya sebatas deskriptif dan faktual, atau lebih jauh lagi secara mendalam, lebih kritis dan analistis. Menurut Alex Shirran,dalam bukunya Evaluating Students,  menyatakan bahwa dalam mata pelajaran akademik ada enam tingkat cara berfikir yang berbeda-beda, yaitu : tingkat pengetahuan, tingkat pemahaman, tingkat penerapan, tingkat analisis, tingkat sintesis dan tingkat evaluasi. Tingkat pengetahuan menghendaki siswa utuk mengingat-ingat informasi tentang fakta, aturan  dan cara penyelesaian. Tingkat pemahaman mengharapkan siswa dapat menafsirkan fakta, menyatakan kembali apa yang dilihat dan menterjemahkan dalam konteks baru. Tingkat penerapan menghendaki siswa menggunakan informasi yang diperoleh sebelumnya dala suatu tatanan baru dan dalam suatu cara yang berbeda dari konteks aslinya. Tingkat analisis menghendaki siswa mengenali kesalahan-kesalahan logis, menunjukkan kontradiksi atau membedakan antara fakta, pendapat, hipotesis, asumsi dan simpulan. Siswa mampu menggambarkan hubungan antar ide. Tingkat sintesis menghendaki siswa menciptakan sesuatu yang unik atau menghasilkan satu kombinasi ide untuk membentuk keseluruhan yang baru.Tingkat evaluasi adalah tingkat paling rumit dimana menghendaki siswa membentuk pertimbangan dan membuat keputusan tentang nilai ide, metode, orang-orang atau produk dan mampu menyatakan alasan untuk pertimbangan tersebut.
Hal yang harus diingat adalah bahwa mata pelajaran akademik dievaluasi dengan suatu kegiatan dalam lingkup kognitif. Jangan sampai terjadi siswa diminta mempelajari sejarah perang Diponegoro lantas evaluasinya adalah diminta membuat lukisan Pangeran Diponegoro. Meskipun siswa dapat memahami sejarah perang Diponegoro namun tidak dapat melukis dengan  baik. Dengan sendirinya nilai yang diperoleh siswa itu rendah.
Untuk mata pelajaran yang menghendaki kecakapan otot atau fisik masuk dalam lingkup psikomotor. Lingkup psikomotor mempunyai lima tingkat  yaitu tingkat imitasi , tingkat manipulasi, tingkat ketepatan, tingkat artikulasi dan tingkat naturalisasi. Tingkat imitasi adalah lingkup psikomotor yang paling sederhana dimana siswa dapat meniru meskipun tidak sempurna. Tingkat manipulasi  menghendaki siswa melakukan kegiatan fisik dari pelajaran lisan atau tertulis tanpa ada model yang ditiru. Tingkat ketepatan menghendaki suatu aktivitas fisik tanpa memperhatikan model atau pengarahan. Tingkat artikulasi diharapkan siswa dapat melakukan dengan urut dan teratur suatu tindakan  secara tepat, cepat, dan tepat waktu. Tingkat naturalisasi mengharapkan siswa melakukan tugas secara rutin,  otomatis dan alami dengan sedikit energi. Artinya siswa dapat mengulangi perilaku secara spontan dan teratur.
Pernyataan tentang kondisi, yaitu pernyataan tentang kondisi yang membantu memfokuskan topik yang harus dijawab atau dipelajari siswa, sehingga mencegah siswa mempelajari bahan-bahan yang tidak relevan.
Komponen ketiga ini mensyaratkan penilaian dengan jelas kondisi yang dapat diharapkan masuk. Guru harus senantiasa mempersempit fokus siswa untuk mengarahkan siswa kepada hasil yang dikehendaki guru. Tanpa pengkodisian yang jelas dan tepat menghasilkan jawaban yang bias dan cenderung keluar dari harapan guru.
Tentu saja guru senantiasa dituntut agar kreatif dalam merancang bentuk instrumen evaluasinya. Instrumen evaluasi yang sahih dan memenuhi kriteria akan menjadi salah satu barometer keprofesionalan guru dalam melakukan proses belajar mengajar. Dengan demikian apabila ada kesalahpahaman tentang penafsiran siswa maupun orang tua terhadap nilai yang diperoleh dari suatu evaluasi akan dapat diselesaikan secara profesional juga.

Y Kristi Hartono, S.Pd
Pemerhati masalah sosial dan pendidikan
Ketua MGMP Matematika SR 02 Kab. Magelang
Guru Matemtika SMP Negeri 2 Dukun
Daftar Pustaka :
Airasia, Peter W, 2001, Classroom Assesment : Concepts and Aplications,  New York. NY : McGraw – Hill.
Linn, Robery L and Grolund, Norman E, 1995, Measurement and Assessment in Teaching (Seven Edition). Ohio: Merril, an imprint of Prentice Hall.
Nitko, Anthony J, 1996,  Educational Assessment of Student, Second Edition. Ohio: Merril an Imprint of Prentice Hall Englewood Cliffs.
Shirran, Alex. 2008. Evaluating Students : Mengevaluasi Siswa, Grassindo, Jakarta.
 

0 komentar:

Posting Komentar