Oleh Y Kristi Hartono
Sebuah proses pembelajaran oleh guru akan diakhiri dengan suatu evaluasi
atau tes untuk mengukur kemampuan siswa dalam menyerap materi pelajaran yang
diterima. Hasil evaluasi akan menghasilkan nilai yang merupakan
representasi dari pencapaian prestasi
siswa.
Dalam pemberian nilai kepada siswa,
apabila tidak dilakukan dengan proses yang benar dapat memunculkan masalah dan
kesulitan guru ketika menghadapi komplain, baik dari siswa maupun orang tua
siswa. Guru terkadang menganggap mudah dan merasa sudah hafal dengan kemampuan
anak didiknya baik perkembangan berfikirnya maupun kemampuan akademisnya. Alasan
bahwa guru telah mempunyai pengalaman mengajar yang cukup lama menyebabkan
dalam memberikan nilai dari sebuah evaluasi tidak terprogram dengan baik. Ia
hanya mengandalkan perasaan (feeling)
semata. Belum lagi dengan tenggang waktu yang terbatas dan materi cukup padat
menyebabkan seorang guru akan menggunakan cara yang paling mudah dan cepat
namun tidak mempunyai alasan yang kuat.
Diperparah lagi dengan adanya efek ’halo’ dan’garu’. Efek ’halo’, terjadi
ketika seorang guru menaikkan angka atau nilai kepada siswa yang nilainya
mepet, tanpa melihat kemampuan dan hasil akademik siswa tersebut, tetapi hanya
berdasarkan pertimbangan secara umum bahwa siswa tersebut berpenampilan
menarik, cantik atau memberi kesan baik. Sedangkan efek ’garu’ adalah kebalikan
dari efek ’halo’, yaitu seorang guru akan mengurangi atau menurunkan nilai
siswa karena siswa tersebut membuat kesan tidak menyenangkan dalam pikiran
guru. Misalnya siswa tersebut sering mengganggu di kelas, bicara keras, datang
terlambat. Apabila dalam kondisi ini
guru menghadapi komplain dari siswa dan orang tua siswa yang kritis akan
mengalami kesulitan. Akibatnya akan menghancurkan profesinya. Hal ini akan terjadi
pada guru ketika melakukan evaluasi mengesampingkan komponen - komponen
evaluasi.
Dalam melakukan evaluasi hendaknya guru selalu
menyebutkan tiga komponen evaluasi yaitu
tingkat kriteria yang tertulis, tingkat pemikiran akademik dan pernyataan
tentang persyaratan. Tanpa adanya rambu-rambu tersebut guru dihadapkan pada
bahaya keprofesionalannya, dan siswa akan menghadapi resiko akademik.
Kriteria penilaian yang tertulis,
yaitu tingkat atau tingginya nilai akademik atau kecakapan yang dibutuhkan
seorang siswa untuk menerima suatu nilai huruf. Di sini seorang guru sebelum
memberikan tugas atau evaluasi harus menyampaikan dengan jelas kriteria
penilaian kepada siswa. Kriteria ini dibuat oleh guru berdasarkan pada
pengalaman dan harapannya. Guru karena
alasan waktu sering tidak membuat
kriteria penilaian. Dalam bentuk kisi-kisi penilaian disebut rubrik penilaian. Dengan rubrik ini maka
penilaian akan selalu konsisten sehingga siswa dapat ikut terlibat dalam
melihat dan menafsir kualitas pekerjaannya. Maka ketika guru memberikan nilai
huruf atau angka tidak akan menimbulkan penafsiran dan kesalahpahaman antara
siswa dan orang tua.
Tingkat cara berfikir akademik,
yaitu pada tingkat mana yang akan di evaluasi atau diujikan. Apakah jawaban
yang diharapkan dari siswa hanya sebatas deskriptif dan faktual, atau lebih
jauh lagi secara mendalam, lebih kritis dan analistis. Menurut Alex
Shirran,dalam bukunya Evaluating Students, menyatakan bahwa dalam mata pelajaran akademik
ada enam tingkat cara berfikir yang berbeda-beda, yaitu : tingkat pengetahuan, tingkat pemahaman, tingkat penerapan, tingkat
analisis, tingkat sintesis dan tingkat evaluasi. Tingkat pengetahuan
menghendaki siswa utuk mengingat-ingat informasi tentang fakta, aturan dan cara penyelesaian. Tingkat pemahaman
mengharapkan siswa dapat menafsirkan fakta, menyatakan kembali apa yang dilihat
dan menterjemahkan dalam konteks baru. Tingkat penerapan menghendaki siswa menggunakan
informasi yang diperoleh sebelumnya dala suatu tatanan baru dan dalam suatu
cara yang berbeda dari konteks aslinya. Tingkat analisis menghendaki siswa
mengenali kesalahan-kesalahan logis, menunjukkan kontradiksi atau membedakan
antara fakta, pendapat, hipotesis, asumsi dan simpulan. Siswa mampu menggambarkan
hubungan antar ide. Tingkat sintesis menghendaki siswa menciptakan sesuatu yang
unik atau menghasilkan satu kombinasi ide untuk membentuk keseluruhan yang
baru.Tingkat evaluasi adalah tingkat paling rumit dimana menghendaki siswa
membentuk pertimbangan dan membuat keputusan tentang nilai ide, metode,
orang-orang atau produk dan mampu menyatakan alasan untuk pertimbangan
tersebut.
Hal yang harus diingat adalah bahwa mata pelajaran akademik dievaluasi
dengan suatu kegiatan dalam lingkup kognitif. Jangan sampai terjadi siswa
diminta mempelajari sejarah perang Diponegoro lantas evaluasinya adalah diminta
membuat lukisan Pangeran Diponegoro. Meskipun siswa dapat memahami sejarah
perang Diponegoro namun tidak dapat melukis dengan baik. Dengan sendirinya nilai yang diperoleh
siswa itu rendah.
Untuk mata pelajaran yang menghendaki kecakapan otot atau fisik masuk dalam
lingkup psikomotor. Lingkup psikomotor mempunyai lima tingkat yaitu tingkat
imitasi , tingkat manipulasi, tingkat ketepatan, tingkat artikulasi dan tingkat naturalisasi. Tingkat imitasi
adalah lingkup psikomotor yang paling sederhana dimana siswa dapat meniru
meskipun tidak sempurna. Tingkat manipulasi menghendaki siswa melakukan kegiatan fisik
dari pelajaran lisan atau tertulis tanpa ada model yang ditiru. Tingkat
ketepatan menghendaki suatu aktivitas fisik tanpa memperhatikan model atau
pengarahan. Tingkat artikulasi diharapkan siswa dapat melakukan dengan urut dan
teratur suatu tindakan secara tepat,
cepat, dan tepat waktu. Tingkat naturalisasi mengharapkan siswa melakukan tugas
secara rutin, otomatis dan alami dengan
sedikit energi. Artinya siswa dapat mengulangi perilaku secara spontan dan
teratur.
Pernyataan tentang kondisi, yaitu pernyataan
tentang kondisi yang membantu memfokuskan topik yang harus dijawab atau dipelajari
siswa, sehingga mencegah siswa mempelajari bahan-bahan yang tidak relevan.
Komponen ketiga ini mensyaratkan penilaian dengan jelas kondisi yang dapat
diharapkan masuk. Guru harus senantiasa mempersempit fokus siswa untuk
mengarahkan siswa kepada hasil yang dikehendaki guru. Tanpa pengkodisian yang
jelas dan tepat menghasilkan jawaban yang bias dan cenderung keluar dari harapan
guru.
Tentu saja guru senantiasa dituntut agar kreatif dalam merancang bentuk
instrumen evaluasinya. Instrumen evaluasi yang sahih dan memenuhi kriteria akan
menjadi salah satu barometer keprofesionalan guru dalam melakukan proses
belajar mengajar. Dengan demikian apabila ada kesalahpahaman tentang penafsiran
siswa maupun orang tua terhadap nilai yang diperoleh dari suatu evaluasi akan
dapat diselesaikan secara profesional juga.
Y Kristi Hartono,
S.Pd
Pemerhati masalah
sosial dan pendidikan
Ketua MGMP
Matematika SR 02 Kab. Magelang
Guru Matemtika
SMP Negeri 2 Dukun
Daftar Pustaka :
Airasia,
Peter W, 2001, Classroom Assesment : Concepts
and Aplications, New York.
NY : McGraw – Hill.
Linn,
Robery L and Grolund, Norman E, 1995, Measurement
and Assessment in Teaching (Seven Edition). Ohio: Merril, an imprint of Prentice Hall.
Nitko,
Anthony J, 1996, Educational Assessment of Student, Second
Edition. Ohio: Merril an Imprint of Prentice
Hall Englewood
Cliffs.
Shirran,
Alex. 2008. Evaluating Students :
Mengevaluasi Siswa, Grassindo, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar